Pengembangan antagonis H2: Perjalanan dari histamin ke nizatidin
Menelusuri perkembangan antagonis reseptor H2, mulai dari histamin hingga sintesis burimamid, antagonis reseptor H2 pertama.
Obat antagonis H2 umumnya digunakan untuk mengobati berbagai kondisi medis seperti tukak lambung, penyakit refluks gastroesofagus (GERD), gangguan hipersekresi patologis, serta urtikaria kronis dan gejala anafilaksis. Salah satu obat pendiri kelas ini adalah simetidin, yang dikembangkan melalui pendekatan analisis struktur-aktivitas tradisional, dimulai dengan agonis alami reseptor: histamin1.
Artikel terkait:
Sejarah pengembangan cikal bakal simetidin
Untuk mengembangkan antagonis reseptor H2, para peneliti awalnya memodifikasi struktur histamin. Dengan menambah metil posisi 5 dari imidazol hetrosiklik histamin, mereka menghasilkan agonis selektif untuk reseptor histamin 2.
Mereka kemudian menemukan bahwa analog guanidin dari histamin secara lemah menghambat aksi sekresi asam. Modifikasi lebih lanjut, yaitu menambah panjang rantai samping dan mengganti gugus guanidin dengan fungsi metil tiourea netral, menghasilkan burimamid, antagonis penuh reseptor H2 pertama, meskipun tidak terlalu kuat.
Potensi burimamid yang rendah disebabkan oleh sifat nonbasa, rantai samping bersifat pelepas elektron, dan lebih menyukai tautomer imidazol N MH yang tidak farmakofor. Berikutnya dilakukan penggantian gugus tioeter (sebelumnya metilen) dan menambahkan gugus 5-metil menghasilkan metiamid, suatu penghambat H2 yang lebih kuat dan bioavaibilitas oral yang lebih baik.
Sayangnya, metiamid menyebabkan toksisitas berupa agranulositosis. Berikutnya, dilakukan substitusi gugus tiourea dengan siano-imino menghasilkan simetidin, obat pertama H2 antagonis yang yang masuk klinik dengan keamanan dan kemanjuran yang dapat diterima.
Suksesnya simetidin masih meninggalkan cela
Simetidin merupakan penemuan penting dalam bidang gastroenterologi karena memberikan cara yang efektif untuk mengendalikan sekresi asam lambung dan mempercepat penyembuhan tukak lambung dan duodenum. Namun, simetidin bukanlah obat yang ideal tanpa cela.
Sebagai contoh, durasi kerjanya yang singkat berarti pasien harus sering meminumnya, yang dapat merepotkan dan mengurangi kepatuhan pasien. Efek antiandrogeniknya juga bermasalah, karena dapat menyebabkan ginekomastia pada pria, yang dapat menjadi sumber rasa malu dan ketidaknyamanan bagi pasien karena payudaranya membesar. Selain itu, simetidin dapat menyebabkan kebingungan pada pasien usia lanjut, dan mengganggu fungsi ginjal.
Selain itu, simetidin merupakan inhibitor enzim CYP 450 yang poten, sehingga dapat menyebabkan interaksi obat yang signifikan, sehingga sulit digunakan pada pasien yang menggunakan obat lain. Terlepas dari keterbatasan ini, simetidin merupakan kemajuan penting dalam bidang gastroenterologi dan membuka jalan bagi pengembangan obat yang lebih baru dan lebih efektif.
Pengembangan obat melahirkan obat baru berikutnya
Adanya gugus imidazol pada simetidin berikutnya diketahui menjadi penyebab potensi interaksi obat dan efek ginekomastia. Karena itu, ada upaya untuk mengembangkan obat baru tanpa cincin imidazol.
Hal yang mengejutkan, diketahui bahwa cincin imidazol tidak diperlukan untuk aktivitas antagonis H2. Ternyata, mengganti cincin imidazol dengan furan atau heterosiklik tiazol, keduanya dengan substituen cincin dasar seperti guanidin atau dimetilaminometil, menghasilkan obat-obatan seperti ranitidin2, famotidin, dan nizatidin. Obat-obat baru ini tidak hanya meningkatkan potensi dan selektivitas antagonisme H2, tetapi juga mengurangi interaksi obat dan pengaruhnya pada sistem sekresi ginjal.
Perbandingan simetidin, ranitidin, famotidin, dan nizatidin
Simetidin, ranitidin, famotidin, dan nizatidin adalah antagonis reseptor H2. Nizatidin memiliki ketersediaan hayati (bioavaibilitas) oral yang lebih tinggi daripada tiga obat lainnya karena metabolisme lintas pertama yang lebih sedikit.
Obat-obat ini memiliki fitur struktural yang serupa, dan metabolisme mereka terutama melibatkan oksidasi S dan N. Cincin imidazol simetidin sangat rentan terhadap metabolisme oksidatif, seperti halnya gugus N, N-dimetil dalam nizatidin dan ranitidin. Produk metabolit ini diasumsikan kurang aktif dibandingkan dengan obat induknya. Selain itu, sejumlah besar obat diekskresikan dalam urin dalam bentuk yang tidak dimetabolisme.
Durasi kerja obat-obat ini berkisar antara 1 hingga 4 jam, dengan nizatidin memiliki waktu paruh terpendek.
Referensi
Wright R. How Zantac became the best-selling drug in history. J Health Care Mark. 1996 Winter;16(4):24-9. PMID: 10169076.