Orang dengan HIV menjadi 21 kali lebih mungkin terkena TBC, mengapa?
TBC adalah pembunuh nomor satu orang dengan HIV.
Tuberkulosis (TBC atau TB) merupakan musuh bagi orang yang hidup dengan HIV, yang bertanggung jawab atas hampir seperempat kematian terkait HIV. Selain itu, TB lebih sulit dideteksi pada orang dengan HIV, karena sampel dahak sering kali menunjukkan hasil negatif, bahkan ketika mereka benar-benar terinfeksi. Orang dengan HIV lebih mungkin memiliki TB di tempat lain selain paru-paru (TB ekstra paru), sehingga lebih sulit untuk didiagnosis. Orang dengan HIV menjadi 21 kali lebih mungkin terkena TB, mengapa?
Fakta tentang TB dan HIV
Terdapat 10 juta kasus baru TB di seluruh dunia pada 2017, dimana 920.000 kasus terjadi pada orang dengan HIV. Ko-infeksi HIV dan TB merupakan masalah kesehatan yang kompleks yang mempercepat perkembangan kedua penyakit tersebut. HIV melemahkan sistem kekebalan tubuh, sehingga orang lebih rentan terhadap penyakit TB. TB merupakan koinfeksi yang paling umum pada orang dengan HIV, dengan TB ekstraparu lebih sering terjadi pada orang dengan HIV positif.
TB merupakan pembunuh nomor satu orang dengan HIV. Diperkirakan terdapat 1,4 juta kematian di antara orang dengan HIV-negatif dan 187.000 kematian di antara orang dengan HIV-positif pada 2021. Infeksi HIV telah menjadi faktor risiko kedua dari insidensi TB. Sebagian besar estimasi peningkatan kematian akibat TB secara global disumbang oleh empat negara: India, Indonesia, Myanmar dan Filipina.
Mekanisme infeksi TB pada orang terkena HIV
HIV menargetkan dan menghancurkan sel T CD4+, yaitu bagian dari sel sistem kekebalan tubuh. Penghancuran progresif sel-sel ini oleh virus menyebabkan melemahnya sistem kekebalan tubuh, membuat individu rentan terhadap infeksi oportunistik dan penyakit yang biasanya secara normal dapat dilawan oleh mekanisme pertahanan tubuh.
HIV melemahkan sistem kekebalan tubuh dan membuat orang lebih rentan terhadap TB aktif.
Pada orang yang ko-infeksi dengan HIV dan TB, sistem kekebalan tubuh yang terganggu membuat mereka lebih rentan mengembangkan TB. Interaksi yang kompleks antara HIV dan TB mengakibatkan luaran yang lebih buruk, menggarisbawahi pentingnya diagnosis dini dan pengobatan untuk kedua penyakit ini.
Tantangan dalam pencegahan, diagnosis, dan pengobatan TB/HIV
Vaksinasi
Vaksin BCG (Bacille Calmette-Guerin), yang secara luas digunakan untuk melindungi dari TB, tidak direkomendasikan untuk bayi dengan HIV karena risiko reaksi kekebalan radang yang parah yang dapat berakibat fatal. Akibatnya, negara-negara dengan tingkat TB dan HIV yang tinggi harus menyesuaikan strategi vaksinasi untuk mengakomodasi rekomendasi ini. Jika vaksin BCG tidak dapat dilakukan, maka tindakan lain seperti inisiasi awal terapi anti-retroviral dan pengobatan pencegahan TB dapat dilakukan untuk mengurangi risiko TB pada populasi yang rentan ini.
Diagnosis
Meskipun terdapat kemajuan yang signifikan dalam diagnosis dan pengobatan TB, alat diagnostik yang paling sering digunakan masih kurang sensitif untuk mendeteksi TB dengan kultur BTA-negatif dan TB ekstra paru. Hal ini dapat menyebabkan keterlambatan atau tidak terdeteksinya bakteri, sehingga dapat mendorong perkembangan penyakit, peningkatan penularan, dan luaran yang buruk bagi pasien.
Upaya yang sedang dilakukan yaitu mengembangkan alat diagnostik yang lebih sensitif, seperti adopsi yang lebih luas dari teknologi seperti GeneXpert MTB/RIF dan tes molekuler lainnya. Cara ini terbukti lebih sensitif daripada metode tradisional, selain dapat mendeteksi juga sekaligus dapat mengetahui pasien telah resisten atau tidak terhadap obat TB tertentu.
Pengobatan
Menangani ko-infeksi TB dan HIV dapat menjadi tantangan karena obat yang diminum menjadi lebih banyak. Selain itu, pengaturan waktu kedua pengobatan sangat penting untuk meminimalkan risiko sindrom inflamasi pemulihan kekebalan tubuh (IRIS, immune reconstitution inflammatory syndrome). IRIS adalah suatu kondisi yang dapat terjadi ketika seseorang dengan HIV memulai terapi antiretroviral, yang dapat menyebabkan perburukan gejala TB untuk sementara waktu karena sistem kekebalan tubuh bereaksi terhadap infeksi. Selain itu, interaksi obat-obat antara obat HIV dan obat TB, seperti rifampisin dan bedaquiline, dapat memperumit penatalaksanaan koinfeksi ini. Hal ini menyoroti pentingnya pemantauan yang ketat dan kolaborasi antara penyedia layanan kesehatan dalam menangani pasien dengan koinfeksi TB dan HIV.
Simpulan
Mereka yang hidup dengan HIV dan memiliki infeksi TB laten dianjurkan untuk minum obat untuk mencegah TB berkembang menjadi penyakit aktif. Memulai terapi antiretroviral sejak dini dapat mencegah perkembangan TB pada orang dengan HIV.
Mata kuliah terkait: Imunologi Virologi
Referensi
WHO, 2022, Global Tuberculosis reports, available at WHO